Pemerintah kabupaten/kota harus mampu mencegah gratifikasi dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI). Melalui aplikasi TI, proses transaksi akan dilakukan dengan mesin yang terintegrasi online sehingga kemungkinan terjadinya gratifikasi dapat dihindari.
“Dengan TI, orang akan berhadapan dengan mesin atau komputer, bukan orang dengan orang, sehingga sangat meminimalisir kemungkinan terjadinya gratifikasi” kata Sekdaprov Jatim Sukardi saat Sosialisasi Implementasi Program Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemprov Jatim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI di aula Kantor Inspektorat Jatim, Jumat (31/10).
Dikatakan, Pemprov Jatim terus melakukan berbagai inovasi untuk menyelenggarakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan serta bebas korupsi, salah satunya melalui inovasi TI. “Penggunaan TI sangat sukses dalam mengurangi gratifikasi, khususnya di tempat pelayanan publik. Karena orang tidak ketemu dengan orang, tetapi dengan mesin. Ini mencegah orang untuk melakukan suap atau pungli” katanya.
Inovasi TI Pemprov yang cukup diandalkan adalah di UPT Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa (P2BJ). Di P2BJ, orang yang ingin mengikuti lelang barang dan jasa akan dihadapkan dengan aplikasi TI secara online system, sehingga prosesnya lebih cepat, transparan, adil, dan dapat ditelusuri secara jelas sampai dimana proses lelang, serta data dan informasi tentang proses tersebut dapat dipantau secara real time.
“Kami sangat berharap pemerintah kabupaten/kota juga mengikuti langkah Pemprov supaya proses lelang atau pengurusan perijinan juga lewat online, sehingga dapat terintegrasi dengan milik Pemprov. Jadi jika ada kendala, dapat diketahui melalui tracking system” ujarnya.
Upaya Pemprov dalam mengendalikan gratifikasi juga diperkuat dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 35 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Pemprov Jatim. Pergub tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut surat KPK RI No. B.143/01-13/01/2013 tanggal 21 Januari 2013 perihal Himbauan Terkait Gratifikasi.
Dalam Pergub tersebut, yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjam tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasilitas lainnya yang diterima didalam/luar negeri dan dilakukan dengan/tanpa menggunakan sarana elektronik yang berhubungan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pelayanan masyarakat.
Sedangkan penerima gratifikasi adalah pegawai di lingkungan Pemprov Jatim atau pihak lain yang mempunyai hubungan keluarga/kekerabatan/sosial lainnya dengan pegawai dimaksud yang menerima gratifikasi. Sedangkan pemberi gratifikasi adalah para pihak baik perorangan maupun lembaga yang memberikan gratifikasi kepada penerima gratifikasi.
Pada kesempatan itu, Direktur Gratifikasi KPK RI, Giri Suprapdiono mengatakan bahwa gratifikasi merupakan akar dari tindakan korupsi. Oleh karena itu, gratifikasi harus dicegah agar tidak menjadi budaya di negeri ini.
“Banyak orang tidak tahu apa yang dimaksud dengan gratifikasi, karena itulah banyak pula yang terjerat kasus gratifikasi dan masuk penjara. Sebab hukum tidak tebang pilih, pokoknya jika ada yang terbukti melakukan gratifikasi, ia akan dipidana. Siapapun bisa terkena gratifikasi. Karena itulah kita wajib memahami gratifikasi” katanya.
Menurutnya, gratifikasi diperbolehkan tetapi khusus yang bersifat umum, contohnya seperti orang menghadiri seminar, kemudian mendapat souvenir berupa tas, bolpen, notes, air minum, dan sertifikat. Yang tidak diperbolehkan adalah gratifikasi yang berbentuk suap, bisa uang, barang, bahkan wanita (yang dinamakan gratifikasi “seks”).
Ia sependapat dengan Sukardi terkait dengan pemanfaatan TI untuk mencegah gratifikasi. “TI memang bisa mencegah gratifikasi, namun itu perlu didukung dengan perbaikan mental kita. Gratifikasi akan terus terjadi selama mental kita masih bobrok, percuma kita membangun sistem sedemikian canggih, dengan komputer, finger print, dan lainnya, tetapi ternyata masih bisa kongkalikong dengan pihak lain” ujarnya.