Negara kita, Negara Indonesia, memiliki banyak sekali suku dan kebudayaan. Bisa sampai ratusan. Ada suku Jawa, Bugis, Dayak, dan masih banyak lagi. Setiap suku pun berbeda bahasa dan logat. Setiap suku juga berbeda tradisi dan kebudayaannya. Ini yang membuat Indonesia unik. Walaupun kita berbeda tapi kita tetap peduli, ramah, dan kompak. Seperti semboyan Negara kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Bali juga terkenal sebagai salah satu provinsi yang mempunyai bermacam-macam tradisi unik. Dikarenakan juga disana mayoritas menganut agama Hindu. Di Bali juga masih kental sekali kebudayaan yang di pegang. Bisa terlihat dari pura-pura di setiap bangunan di Bali. Beberapa tradisi unik di Bali antara lain Tradisi Perang Siat Sampian, Tradisi Mekepung, Tradisi Mageret Pandan, dan Tradisi Omed-Omedan.
Nah, yang akan dibahas disini adalah Tradisi Omed-Omedan di Bali. Mengapa ? Karena tradisi ini mungkin masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak ? tradisi ini adalah kegiatan dimana cowok dan cewek berciuman masal di depan umum dan ditonton oleh banyak orang. Orang-orang dan media-media biasa menyebutnya Holy Kissing, Kissing Festival, dan Mass Kissing. Nama tersebut membuat masyarakat lain mengira ini adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Tapi jika diperhatikan secara mendetail, sebenarnya ada maksud tersendiri dibalik kegiatan berciuman tersebut.
Omed-Omedan mempunyai arti tarik-menarik. Diadakan di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar sehari setelah Hari Raya Nyepi. Yang melakukan ini pun hanya pemuda-pemudi yang belum menikah dan anehnya, mereka berciuman dan saling merangkul dengan orang yang bukan pasangannya. Tradisi ini sudah dijalankan sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dijalankan sampai saat ini. Ini merupakan luapan kegembiraan dan kebersamaan masyarakat setelah Nyepi.
Pemuda-pemudi yang tergabung dalam kelompok Seka Teruna Satya Dharma menjalankannya sebagai wujud bakti kepada sesuhunan dan leluhur mereka. Sebelum memulai Omed-omedan, berbagai sarana dan prasarana upacara harus dipersembahkan terlebih dahulu di pura. Pemangku (rohaniawan) desa akan memimpin upacara yang dilanjutkan dengan persembahyangan bersama seluruh peserta.
Lalu, pada siang hari gerombolan perempuan dan laki-laki berjalan beriringan menuju jalan raya. Saat sudah sampai depan banjar beberapa pemangku mencipratkan Tirtha (air suci) kepada peserta dan penonton agar diberi kesucian kelancaran acara. Kemudian, peserta diangkat atau digendong untuk didekatkan satu sama lain. Peserta yang diangkat akan saling tarik menarik hingga merangkul dan mencium lawan mainnya. Orang-orang yang dibawah mendorong peserta dan kemudian ditarik lagi untuk memisahkannya. Beberapa orang juga menyiramkan air kepada peserta. Kegiatan ini dilakukan bergantian, setelah yang pasangan pertama tadi sudah selesai, dilanjutkan pasangan yang kedua hingga bisa selesai sampai 2 jam.
Kegiatan tidak selesai sampai disini, di dalam pura para peserta bergiliran mencakupkan kedua telapak tangannya di depan pemangku untuk di beri Tirtha. Ini menunjukkan ucapan syukur dan memohon keselamatan pada tuhan. Pada saat inilah, para peserta sering mengalami Trance atau tidak sadarkan diri. Bahkan ada yang sampai kemasukan yang biasa disebut oleh masyarakat Kerauhan. Mereka bisa sadarkan diri kembali beberapa saat setelah pemangku memercikkan Tirtha kepada mereka.
Asal-usul tradisi ini berasal dari cerita rakyat zaman dulu. Raja Puri Oka sedang sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Pada saat Hari Raya Nyepi, masyarakat mengadakan acara Omed-Omedan. Karena suasananya yang gaduh membuat Raja marah. Ketika Raja keluar ingin menghentikan acara tersebut, tiba-tiba Raja sembuh dengan sendirinya. Lalu Raja memerintahkan untuk menggelar acara itu setiap tahun. Tradisi ini digelar sampai sekarang selain untuk kebersamaan, masyarakat juga khawatir akan terjadi petaka jika tradisi ini dihentikan.

Omed-Omedan, Tradisi Unik di Bali